Minggu lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan telah terjadi wabah polio di Papua Nugini (PNG). Penyakit ini disebabkan oleh virus yang sangat menular dan telah terdeteksi pada dua anak sehat yang telah divaksinasi polio. Penemuan ini terjadi setelah dilakukan penyaringan virus dalam sampel limbah air di Lae, kota terbesar kedua di PNG. Hasil positif juga ditemukan di ibu kota Port Moresby, yang menunjukkan potensi penyebaran virus ini di seluruh negeri.

Strain virus yang teridentifikasi merupakan poliovirus tipe 2 yang diturunkan dari vaksin, dan secara genetik mirip dengan strain yang sedang beredar di Indonesia. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai penyebaran dan penanganan wabah ini, terutama mengingat latar belakang sejarah polio dan tantangan yang dihadapi dalam program imunisasi di PNG.

Apa itu polio? Polio, atau poliomyelitis, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh poliovirus, dan secara khusus berdampak pada anak-anak. Sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala yang signifikan dan umumnya tidak terdeteksi. Namun, kurang dari 1% infeksi dapat menyebabkan kelumpuhan. Virus ini menyebar melalui kontak antar manusia atau melalui konsumsi virus yang terkontaminasi dari tinja. Virus ini berkembang biak di usus orang yang terinfeksi, dan mereka akan mengeluarkan virus ini dalam tinja mereka selama beberapa minggu, sehingga dapat menyebar dalam komunitas, terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk.

Tinjauan terbaru juga menyarankan bahwa transmisi melalui partikel pernapasan mungkin lebih besar dari yang kita duga sebelumnya. Sebelum vaksinasi diperkenalkan pada tahun 1950-an, poliovirus liar adalah masalah kesehatan masyarakat yang besar. Namun, peluncuran kampanye vaksinasi ini secara efektif menghilangkan penyakit tersebut di negara-negara kaya seperti Australia.

Sejak dimulainya Inisiatif Pemberantasan Polio Global pada tahun 1988, jumlah kasus polio secara global telah berkurang sebesar 99%. Saat ini, poliovirus liar hanya tetap endemik di Pakistan dan Afghanistan.

Ada dua jenis vaksin polio yang tersedia, yaitu vaksin polio oral dan vaksin polio yang diinaktivasi. Vaksin oral diberikan dalam bentuk dua tetes di mulut setidaknya empat kali selama masa kanak-kanak. Vaksin ini mengandung bentuk poliovirus yang dilemahkan, yang memicu reaksi imun yang kuat di usus, memperlambat replikasi poliovirus liar, dan mengurangi pengeluaran virus dalam tinja, sehingga membatasi penularan.

Namun, vaksin oral juga memiliki risiko kecil yang dapat menyebabkan kelumpuhan, terjadi pada kira-kira satu dari 2,7 juta dosis yang diberikan, biasanya pada dosis pertama. Sementara itu, vaksin polio yang diinaktivasi, yang merupakan bagian dari program imunisasi rutin di Australia, mengandung bentuk poliovirus yang telah mati dan tidak dapat menyebabkan polio pada penerima. Vaksin ini diberikan melalui injeksi dan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi pelindung dalam darah terhadap poliovirus. Tiga dosis vaksin yang diinaktivasi memberikan perlindungan tinggi terhadap gejala dan kelumpuhan akibat polio.

Akan tetapi, vaksin ini tidak seefektif vaksin oral dalam mencegah infeksi dan pengeluaran virus di usus, sehingga tidak dapat mencegah penularan.

Poliovirus yang diturunkan dari vaksin terjadi karena poliovirus yang dilemahkan dalam vaksin oral masih dapat dikeluarkan dalam tinja. Dalam kondisi sanitasi yang buruk, strain vaksin ini dapat bermutasi menjadi bentuk yang dapat menyebabkan kelumpuhan, mirip dengan poliovirus liar. Hasilnya adalah poliovirus yang beredar yang diturunkan dari vaksin, yang menjadi masalah terutama ketika tingkat imunisasi polio rendah. WHO dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat telah menilai risiko penyebaran internasional poliovirus yang diturunkan dari vaksin sebagai tinggi. Sejak 2023 hingga 2024, wabah telah dilaporkan di 39 negara.

Sejak 2021, vaksin oral polio baru, nOPV2, yang memiliki kemungkinan rendah untuk bermutasi, telah digunakan dalam wabah poliovirus yang diturunkan dari vaksin. Vaksinasi rutin dengan vaksin poliovirus yang diinaktivasi adalah kunci untuk mencegah poliovirus yang diturunkan dari vaksin, dan direkomendasikan oleh WHO. Upaya pemberantasan polio akan melibatkan transisi dari vaksin oral ke vaksin yang diinaktivasi.

Pada tahun 2019, semua negara telah memperkenalkan vaksin yang diinaktivasi, tetapi tingkat penerimaannya masih rendah akibat kurangnya sumber daya dan akses layanan kesehatan yang tidak memadai di negara-negara miskin.

Bagaimana langkah selanjutnya di PNG? Pemerintah PNG telah merespons dengan cepat untuk mengaktifkan rencana darurat polio, didukung oleh mitra termasuk WHO, UNICEF, dan pemerintah Australia. Penting untuk dicatat bahwa tingkat vaksinasi di PNG termasuk yang terendah di dunia, dengan hanya sekitar 50% anak yang lahir setiap tahun menerima vaksinasi anak yang direkomendasikan, termasuk vaksin polio oral. Untuk mencapai kekebalan kelompok dan mencegah wabah penyakit, cakupan vaksinasi harus mencapai setidaknya 95%.

PNG dinyatakan bebas polio pada tahun 2000. Namun, pada tahun 2018, terjadi wabah poliovirus yang diturunkan dari vaksin tipe 1 dengan 26 kasus di sembilan provinsi. Wabah tersebut berhasil dikendalikan melalui putaran vaksinasi tambahan, pengawasan yang ditingkatkan, dan komunikasi serta keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari respon sukses terhadap wabah polio tahun 2018. Ketiga pilar respons ini tetap relevan: vaksinasi massal (menggunakan nOPV2), pengawasan yang ditingkatkan untuk kasus dan pengambilan sampel limbah air, serta komunikasi (melalui media tradisional dan sosial) serta keterlibatan masyarakat lokal.

Penelitian lebih lanjut akan sangat penting untuk memahami di mana penyebaran terjadi dan menargetkan respons sesuai dengan itu. Ini termasuk pertanyaan tentang potensi penyebaran antara Indonesia dan PNG – sebuah isu keamanan kesehatan yang terabaikan.

Bagaimana dengan risiko di Australia? Sementara risiko penyebaran polio di Australia tergolong rendah, virus ini tidak mengenal batas, dan kita tidak boleh merasa santai. Cakupan vaksinasi secara keseluruhan di Australia dengan vaksin yang diinaktivasi mendekati 95%, tetapi terdapat penurunan yang mengkhawatirkan dalam imunisasi anak sejak pandemi COVID. Australia harus menangani masalah ini dan mempertahankan sistem pemantauan limbah polio. Mendukung PNG dan bekerja sama dengan negara lain menuju pemberantasan polio global adalah cara terbaik bagi Australia untuk melindungi dirinya sendiri.

Wabah ini menjadi pengingat penting bahwa upaya terakhir untuk pemberantasan polio global masih sulit dicapai. Seiring kita keluar dari pandemi, kebutuhan untuk kerjasama internasional, memperkuat sistem kesehatan, dan merespons dengan cepat terhadap keadaan darurat kesehatan seperti polio semakin mendesak.