Pengalaman Tak Terduga Leo Humphries: Wawancara Kerja dengan AI

Leo Humphries telah mempersiapkan dirinya sepenuhnya untuk apa yang diyakininya sebagai momen yang akan mendefinisikan kariernya. Pria berusia 25 tahun yang tinggal di Houston ini telah dengan teliti menyempurnakan resume-nya, mengenakan setelan terbaiknya, dan secara mental mengulang pertanyaan-pertanyaan wawancara yang mungkin muncul. Dengan harapan untuk mendapatkan posisi impian sebagai jurnalis di sebuah perusahaan nasional terkemuka, Leo memutuskan untuk mendokumentasikan momen penting ini dengan merekam wawancara video—sebuah keputusan yang kemudian mendapatkan perhatian besar di media sosial.
Wawancara dimulai seperti biasanya, dengan semangat Leo yang jelas terlihat ketika ia terhubung ke panggilan video. Namun, kegembiraannya dengan cepat berubah menjadi kebingungan ketika ia menyadari bahwa pewawancaranya bukanlah manusia sama sekali. Alih-alih berbicara dengan seorang manajer perekrutan, ia mendapati dirinya berhadapan dengan sistem kecerdasan buatan (AI) yang diprogram untuk menjalankan seluruh proses wawancara.
“Saya tidak bisa mempercayai apa yang terjadi,” ungkap Leo kemudian di akun TikTok-nya. “Saya sudah siap untuk menunjukkan kepribadian dan hasrat saya, tetapi tiba-tiba saya harus berbicara dengan sebuah algoritma, bukan manajer perekrutan.” Perkembangan yang tak terduga ini mencerminkan tren yang semakin meningkat dalam praktik perekrutan perusahaan, di mana banyak perusahaan mulai menggantikan perekrut manusia dengan sistem AI untuk penyaringan kandidat awal.
Kekecewaan Leo dengan cepat meningkat menjadi frustrasi ketika pewawancara AI mulai mengalami gangguan di tengah percakapan mereka. Sistem tersebut memasuki apa yang dikenal para ahli teknologi sebagai “keadaan glitch,” di mana pertanyaan yang sama diulang berkali-kali tanpa memproses jawaban Leo. Selama beberapa menit yang tidak nyaman, Leo berusaha untuk menavigasi situasi aneh ini, tidak yakin apakah harus memulai ulang panggilan atau terus menjawab program yang sedang bermasalah tersebut.
Gangguan teknologi ini menyoroti keterbatasan dari bahkan sistem AI yang paling canggih sekalipun. Sama seperti inovasi ilmiah yang kadang menghadapi tantangan yang tak terduga, alat wawancara AI juga dapat mengalami masalah operasional yang tidak akan dialami oleh pewawancara manusia.
Setelah beberapa menit mengalami gangguan, pewawancara AI tiba-tiba mengakhiri sesi dengan pernyataan penutupan yang generik. “Terima kasih telah memberikan jawaban yang sangat menarik dan informasi yang berharga,” ujar sistem tersebut, meskipun Leo hampir tidak memiliki kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan berarti. Penutupan yang prematur ini membuat Leo bingung tentang kinerjanya dan peluangnya untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.
Situasi semakin aneh ketika Leo menerima email tindak lanjut otomatis kurang dari satu jam setelah wawancara. Menambah rasa sakit hati, pesan tersebut menyebutnya “Henry” alih-alih Leo. Email tersebut memuji “energi luar biasa” dan “hasrat untuk bercerita”—kualitas yang sebenarnya tidak cukup ditunjukkan Leo selama wawancara yang penuh gangguan tersebut.
Kesalahan identifikasi ini menyoroti tantangan kritis dalam proses perekrutan otomatis. Saat mempersiapkan lamaran pekerjaan, kandidat biasanya menghabiskan waktu yang cukup untuk mempersonalisasi pendekatan mereka—sama seperti cara pencari kerja mempertimbangkan bagaimana cara menyapa di surat lamaran tanpa nama tertentu. Namun, sistem AI bahkan tidak mampu mengidentifikasi kandidat yang baru saja diwawancarai dengan benar.
Meski menggunakan bahasa yang memuji, email tersebut diakhiri dengan pemberitahuan penolakan, menyatakan bahwa kualifikasi Leo tidak sesuai dengan persyaratan posisi tersebut. Penolakan otomatis ini, setelah wawancara di mana ia tidak dapat mempresentasikan dirinya dengan baik, membuat Leo mempertanyakan keadilan dan efektivitas dari proses perekrutan berbasis AI.
Keputusan Leo untuk membagikan pengalamannya di TikTok menggugah banyak pencari kerja di seluruh dunia. Videonya dengan cepat mengumpulkan jutaan tayangan, dengan ribuan komentar dari pengguna yang berbagi pengalaman serupa dengan sistem wawancara otomatis. Viralitas postingannya menyoroti kekhawatiran yang semakin meningkat tentang otomatisasi dalam proses perekrutan.
“Teknologi seharusnya meningkatkan koneksi manusia, bukan menggantinya,” komentar seorang pengguna, sementara pengguna lainnya mencatat, “Perusahaan yang menggunakan sistem ini kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kandidat dengan keterampilan komunikasi luar biasa dan kemampuan untuk membangun koneksi instan melalui percakapan.”
Para ahli perekrutan telah mengamati bahwa meskipun AI dapat menyaring volume lamaran yang besar dengan efisien, sistem ini sering gagal mendeteksi kualitas yang dengan mudah dikenali oleh pewawancara manusia. Profesional yang sukses sering kali memiliki atribut yang sulit diukur oleh algoritma, seperti kemampuan untuk memecahkan masalah secara kreatif dan adaptabilitas—kebiasaan orang-orang yang sangat sukses yang mungkin tidak dapat diterjemahkan dengan baik dalam penilaian otomatis.
Insiden ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dalam praktik perekrutan. Banyak perusahaan tidak memberi tahu kandidat bahwa mereka akan diwawancarai oleh AI alih-alih manusia. Kurangnya transparansi ini dapat membuat pelamar tidak siap untuk menghadapi dinamika wawancara yang dipimpin mesin, di mana aliran percakapan yang alami dan pertukaran spontan tidak mungkin terjadi.
Pengalaman Leo mencerminkan potensi jebakan dari penghilangan penilaian manusia dalam keputusan perekrutan. Meskipun otomatisasi menawarkan manfaat efisiensi, risiko ini dapat mengabaikan bakat luar biasa yang tidak sesuai dengan pola algoritmik yang telah ditentukan. Seperti yang dicatat seorang profesional HR dalam video Leo, “Beberapa perekrutan terbaik kami mungkin akan ditolak oleh sistem AI karena latar belakang unik mereka tidak sesuai dengan template standar.”
Situasi ini teringatkan pada contoh sejarah lainnya di mana inovasi memerlukan wawasan manusia. Sama seperti perjalanan awal karier Steve Jobs dibentuk oleh hubungan manusia dan inisiatif pribadi, banyak terobosan karier bergantung pada pengakuan manusia terhadap potensi yang mungkin dilewatkan oleh algoritma.
Bagi pencari kerja yang menavigasi lanskap baru ini, para ahli merekomendasikan untuk melakukan riset sebelumnya tentang proses wawancara perusahaan dan mempersiapkan diri secara khusus untuk interaksi AI jika diperlukan. Beberapa pelatih karier bahkan menyarankan untuk mengintegrasikan jeda di antara jawaban—seperti mengambil momen untuk menikmati cokelat hitam, yang dikenal memiliki manfaat mengurangi stres—untuk membantu menjaga ketenangan selama wawancara otomatis yang bisa membingungkan.
Adapun Leo, momen viralnya membuka pintu yang tidak terduga. Beberapa perusahaan media menghubunginya dengan peluang wawancara setelah melihat postingan TikTok-nya—kali ini dengan pewawancara manusia yang siap menghargai bakatnya tanpa intervensi algoritmik.