Pada tanggal 5 Mei, kabinet Israel melakukan perubahan signifikan dalam pendekatannya terhadap Gaza. Dalam langkah yang mengejutkan, mereka memutuskan untuk “memperluas” operasi militer di wilayah Jalur Gaza dan sekaligus menerapkan rencana baru untuk mendistribusikan bantuan kepada penduduk Gaza. Keputusan ini mencerminkan pandangan keras dari pihak kanan Israel yang melihat adanya kesempatan untuk melakukan reokupasi permanen di kawasan tersebut.

Di sisi lain, para realistis di Angkatan Pertahanan Israel (IDF) percaya bahwa rencana tersebut akan memungkinkan adanya lonjakan sementara dalam operasi militer untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan Hamas. Namun, berbagai kritik terhadap tindakan ini berargumen bahwa langkah tersebut justru akan menjamin lebih banyak penderitaan dan kematian di kalangan warga sipil.

Pergeseran kebijakan ini terjadi pada momen yang sangat penting. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dijadwalkan untuk mengunjungi negara-negara Teluk pada tanggal 13 hingga 16 Mei, dengan situasi di Gaza menjadi salah satu agenda utama. Di dalam Gaza sendiri, situasi semakin memburuk dengan kekurangan makanan yang mencapai titik kritis, sementara Israel dituduh oleh sejumlah pihak menerapkan kebijakan yang berpotensi menyebabkan kelaparan di kawasan tersebut.

Dengan kondisi yang semakin mendesak, masyarakat internasional mendesak agar segera ada solusi yang dapat mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza. Banyak yang khawatir bahwa tindakan militer yang diperluas ini hanya akan memperburuk situasi yang sudah parah.