Pada sidang senat yang penuh semangat baru-baru ini, Kash Patel, mantan penasihat Gedung Putih, menunjukkan reaksi yang mencolok ketika ditanya mengenai Rusia. Wajahnya seketika berubah ekspresi, menunjukkan ketidakpercayaan dan ketidaknyamanan yang jelas. Hal ini terjadi di tengah perdebatan yang semakin hangat mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan hubungan dengan negara-negara asing, terutama Rusia. Patel mengingatkan bahwa dalam situasi tertentu, seseorang dapat berisiko ditangkap jika tidak mematuhi hukum yang berlaku.

Dalam konteks politik yang lebih luas, sidang ini bukan hanya membahas isu-isu luar negeri, tetapi merefleksikan ketegangan politik saat ini di AS. Sejak kasus George Floyd pada Mei 2020, negara ini telah mengalami gelombang protes besar-besaran, di mana gerakan Black Lives Matter (BLM) menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan rasial. Meskipun BLM berusaha mengangkat suara mereka yang terpinggirkan, banyak yang berpendapat bahwa gerakan ini juga menjadi senjata politik yang digunakan oleh Partai Republik untuk menyerang Demokrat.

Kasus Derek Chauvin yang menempatkan lututnya di leher George Floyd selama lebih dari sembilan menit bukan hanya mengungkap brutalitas polisi, tetapi juga memicu reaksi politik yang mendalam. Ketika footage tersebut menyebar, dunia beraksi. Dari Andheri hingga Amsterdam, orang-orang berdemontrasi untuk keadilan, dan BLM menjadi simbol global melawan ketidakadilan rasial dan penindasan. Masyarakat Amerika yang sebelumnya tercatat sebagai negara dengan persentase penahanan tertinggi, mulai mengakui perlunya reformasi dalam penegakan hukum.

BLM, yang telah ada sejak 2013, pada tahun 2020 menjadi patokan moral politik. Banyak perusahaan besar dan selebriti mulai menunjukkan dukungan mereka terhadap gerakan ini. Namun, di balik kesuksesan tersebut, ada banyak kritik terhadap pengelolaan dana dan kepemimpinan dalam organisasi BLM. Co-founder Patrisse Cullors menghadapi sorotan publik setelah membeli properti mewah senilai jutaan dolar, yang mengundang skeptisisme mengenai keaslian tujuan gerakan ini.

Ketika partai Demokrat berjuang untuk memperbaiki citra mereka dan menghadapi dampak dari BLM, Partai Republik melakukan serangan balik dengan menciptakan narasi mereka sendiri. Mereka menyebut diri sebagai partai yang menjaga hukum, ketertiban, dan keamanan, sekaligus menampilkan kritik terhadap ‘kebangkitan woke’ yang dianggap menyerang nilai-nilai tradisional. Strategi ini terbukti efektif, membantu mereka memenangkan kembali dukungan dari pemilih yang khawatir tentang keamanan dan ketertiban.

Dalam pemilihan tahun 2022, Partai Republik menghabiskan lebih dari $50 juta untuk iklan yang berfokus pada isu-isu kriminal, dengan banyak yang menargetkan BLM dan slogan “defund the police”. Meskipun banyak anggaran kepolisian tetap utuh, persepsi publik tentang peningkatan kejahatan menjadi senjata politik yang kuat bagi Partai Republik. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Demokrat yang tidak hanya berjuang untuk mendukung gerakan BLM tetapi juga mempertahankan dukungan dari pemilih kelas pekerja.

Meskipun BLM awalnya memicu gelombang simpati dan seruan untuk perubahan, efek jangka panjangnya menunjukkan adanya backlash yang dalam terhadap koalisi Demokrat. Dukungan untuk Trump dari pria kulit hitam muda dan Latino di bawah usia 45 tahun meningkat tajam, bahkan menggandakan angka dari pemilihan sebelumnya. Peningkatan kekhawatiran tentang kejahatan dan penurunan dukungan dari pemilih yang dulunya menjadi tulang punggung Demokrat menunjukkan bahwa narasi yang dibangun oleh Partai Republik tetap mengakar.

Situasi ini juga memiliki dampak signifikan terhadap kampanye Kamala Harris untuk 2024. Meskipun dia dianggap sebagai ikon masa depan Amerika multirasial, dukungannya terhadap dana penjaminan selama protes menjadi titik lemah yang sulit dijelaskan. Harris tidak dapat dengan tegas menyatakan posisinya terkait BLM, dan sebagai hasilnya, Trump memanfaatkan warisan BLM untuk melawan Demokrat dalam menciptakan kesan kekacauan.

Demokrasi, seperti yang diungkapkan oleh Thurgood Marshall, tidak dapat berkembang dalam suasana ketakutan dan apatis. Namun, dengan berjalannya waktu, Black Lives Matter tidak hanya menjadi beban bagi Partai Demokrat, tetapi juga membuat banyak orang Amerika menjadi sangat skeptis, hingga menimbulkan apatis terhadap suara-suara dissent. Pada hari peringatan kematian George Floyd, kita diingatkan akan tuntutan keadilan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kita untuk mendengarkan dan bertindak dengan adil.