Dunia biologi laut yang menakjubkan terus memukau para ilmuwan dengan adaptasi luar biasa yang dikembangkan makhluk untuk bertahan hidup. Salah satu keajaiban evolusi ini adalah Parasesarma eumolpe, spesies kepiting unik yang ditemukan di hutan mangrove Asia Tenggara, yang memiliki kemampuan luar biasa untuk memancarkan cahaya dari dahi mereka. Fenomena bioluminesensi ini baru-baru ini menjadi fokus penelitian terobosan yang mengungkapkan tujuannya.

Di hutan mangrove subur di Malaysia dan Singapura, hidup seekor krustasea aneh yang memiliki lampu kepala bawaan. Kepiting Parasesarma eumolpe memiliki pita wajah yang mencolok di antara mata mereka yang memancarkan cahaya lembut. Adaptasi langka ini membedakan mereka dari banyak makhluk laut lainnya, bahkan yang memiliki kemampuan luar biasa. Sementara beberapa spesies laut seperti paus bungkuk menarik perhatian peneliti dengan perilaku kompleks mereka, kepiting kecil ini menarik minat ilmuwan dengan kecemerlangan literal mereka.

Pita wajah yang bercahaya menunjukkan perbedaan yang mencolok antara kepiting jantan dan betina. Jantan biasanya memantulkan cahaya biru lebih banyak dibandingkan betina, yang menunjukkan kemungkinan peran dalam dimorfisme seksual dan pemilihan pasangan. Perbedaan ini mungkin berfungsi sebagai isyarat visual yang membantu kepiting mengidentifikasi pasangan potensial di habitat mangrove yang keruh.

Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa asal-usul bioluminesensi ini terkait dengan pola makan kepiting. Sebagai detritivora, mereka mengonsumsi bahan organik yang membusuk dan daun yang jatuh kaya akan karotenoid—pigmen yang menghasilkan warna kuning, oranye, dan merah yang terutama ditemukan pada tanaman dan ganggang. Menariknya, pita-pita yang bercahaya ini memudar ketika kepiting kekurangan makanan, mengonfirmasi keterkaitan diet ini.

Meskipun para peneliti memahami sumber cahaya tersebut, tujuan evolusi tetap tidak jelas hingga baru-baru ini. Sebuah studi terobosan yang dipublikasikan dalam jurnal ekologi pada 20 Mei 2025 telah memberikan wawasan menarik tentang adaptasi misterius ini. Tim peneliti menggunakan metode inovatif untuk memeriksa bagaimana pita bercahaya ini mungkin berfungsi dalam interaksi antar kepiting.

Untuk menyelidiki, ilmuwan sementara menggerakkan beberapa kepiting dalam air dingin dan mengamati bagaimana kepiting lainnya merespons sinyal bioluminesen mereka. Hasilnya mengungkapkan pola yang menarik: kepiting lebih tertarik pada individu dengan pita wajah yang lebih cerah yang memantulkan warna yang mirip dengan mereka sendiri. Preferensi ini menunjukkan bahwa pertunjukan cahaya ini berfungsi sebagai sistem komunikasi yang canggih di antara spesies ini.

Para peneliti mencatat bahwa “struktur makro cembung dari pita-pita ini berfungsi secara analog dengan reflektor lampu kepala, meningkatkan kecerahan yang tampak pada sudut optimal untuk transmisi sinyal antara dua kepiting.” Struktur khusus ini memaksimalkan visibilitas sinyal cahaya, terutama dalam kondisi redup di habitat mangrove mereka. Adaptasi komunikasi serupa muncul pada spesies lain, seperti simpanse yang menggunakan sinyal sosial kompleks, meskipun melalui mekanisme yang sama sekali berbeda.

Kemampuan biologis untuk memproduksi cahaya telah berkembang secara independen di banyak spesies laut, dari ikan pemancing di kedalaman laut hingga spesies cumi-cumi tertentu. Namun, adaptasi Parasesarma eumolpe ini sangat khusus. Berbeda dengan banyak makhluk bioluminesen yang menghuni kedalaman laut di mana cahaya langka, kepiting ini hidup di lingkungan mangrove dangkal di mana cahaya ambient bervariasi sepanjang hari.

Struktur pita-pita yang memancarkan cahaya ini tampak dirancang dengan tepat untuk memaksimalkan visibilitas dalam kondisi spesifik ini. Adaptasi ini dapat dibandingkan dengan pengembangan evolusi luar biasa lainnya seperti fitur khusus pada hiu putih besar yang meningkatkan kemampuan berburu mereka.

Bukti saat ini menunjukkan bahwa pita bercahaya ini memainkan peran signifikan dalam kompetisi jantan. Jantan mungkin menggunakan dahi mereka yang bercahaya untuk menunjukkan dominasi atau wilayah di dalam ekosistem mangrove. Hipotesis ini sejalan dengan pengamatan bahwa kepiting jantan menunjukkan refleksi biru yang lebih intens dibandingkan betina.

Pemeliharaan adaptasi unik seperti ini memberikan wawasan berharga tentang biologi evolusi, mengingatkan kita pada bagaimana spesimen kuno yang terawetkan dengan sempurna membantu ilmuwan memahami spesies yang telah punah. Meskipun kepiting-kepiting ini bukan relik kuno, ciri khas mereka yang khusus merepresentasikan solusi evolusi yang telah berkembang selama ribuan generasi.

Seiring penelitian berlanjut mengenai krustasea yang luar biasa ini, para ilmuwan berharap untuk mengungkap lebih banyak tentang bagaimana kemampuan bioluminesen mereka mungkin terkait dengan adaptasi laut lainnya yang tidak biasa dan apa yang bisa mereka ajarkan kepada kita tentang produksi cahaya biologis dan sistem komunikasi hewan. Dahi bercahaya dari kepiting-kepiting sederhana ini mungkin tidak hanya menerangi rumah mangrove mereka tetapi juga pemahaman kita tentang solusi jenius alam terhadap tantangan lingkungan.