Krisis Helium: Sumber Daya Penting yang Terancam

Helium telah secara diam-diam menjadi salah satu sumber daya paling penting dalam kehidupan modern. Gas ini digunakan dalam berbagai bidang, termasuk peralatan rumah sakit, pesawat luar angkasa, campuran pernapasan untuk penyelaman dalam, produksi elektronik, dan instrumen ilmiah. Namun, pasokan helium sangat tidak stabil dan sering kali menjadi masalah serius bagi banyak industri.
Contoh nyata dari krisis ini pernah dialami oleh Nancy Washton, seorang ahli kimia di Pacific Northwest National Laboratory (PNNL). Di laboratoriumnya, Washton mengawasi instrumen yang bergantung pada helium untuk menjaga suhu tetap dingin. Pada tahun 2022, dia terpaksa menghentikan operasional spektrometer resonansi magnetik nuklir yang sangat penting ketika pemasoknya mulai mengurangi pengiriman helium.
Pentingnya Pasokan Helium
Helium memiliki titik didih yang sangat rendah, sekitar -452 °F, menjadikannya sangat penting untuk mendinginkan magnet superkonduktor yang ditemukan dalam pemindai MRI, perangkat resonansi magnetik nuklir, dan peralatan sensitif lainnya. Sifat gas ini yang inert memastikan bahwa helium tidak bereaksi dengan bahan kimia lain. Selain itu, helium juga sangat ringan sehingga sering digunakan untuk mengisi balon untuk pengukuran meteorologi dan kantung udara di mobil.
Kelemahan dari helium adalah gas ini begitu ringan sehingga dapat bocor ke luar angkasa seiring berjalannya waktu, sehingga sulit untuk ditangkap kembali setelah hilang. Jalur pasokan yang ada saat ini bergantung pada pengeboran dalam ke kerak Bumi, di mana peluruhan radioaktif secara bertahap menghasilkan helium. Para produsen memisahkan helium dari aliran gas alam sebelum mengirimnya untuk memenuhi permintaan ilmiah, medis, dan industri.
Tantangan Bagi Laboratorium Riset
“Kami sekarang hidup dengan helium cair yang telah disimpan oleh vendor,” ungkap Washton, yang mencatat bahwa pada satu titik harga helium mencapai $55 per liter untuk mendinginkan satu magnet. Para peneliti di seluruh dunia, termasuk tim yang menggunakan spektrometer NMR, merasakan dampak dari krisis pasokan ini. Hal ini memaksa Washton untuk menyimpan beberapa instrumen superkonduktor PNNL, yang mengganggu penelitian energi yang penting.
Beberapa institusi lainnya mengambil langkah dengan memasang sistem pemulihan mahal yang dapat mengumpulkan kembali sebagian besar gas yang menguap, mengubahnya kembali menjadi bentuk cair, dan menggunakannya kembali. Namun, set-up pemulihan ini memerlukan biaya tinggi, pemeliharaan yang cermat, dan bisa memerlukan pipa baru di seluruh laboratorium. Institusi yang lebih kecil sering kali kesulitan dengan biaya ini, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa penelitian mutakhir dapat terpengaruh ketika anggaran semakin terbatas.
Pasokan Helium dan Kesehatan
Rumah sakit merupakan pengguna helium terbesar, menyerap sekitar sepertiga dari pasar global. Gas ini mendinginkan magnet kuat dalam pemindai MRI. Jika jalur pasokan terganggu, pemindaian bisa terpaksa ditunda atau dibatalkan. Beberapa model MRI terbaru hanya memerlukan sekitar satu liter helium, menggunakan unit tertutup yang mengalirkan kembali gas tersebut.
Meskipun mesin ini sering kali lebih mahal dan menghasilkan sedikit lebih rendah kekuatan medan magnet, mereka menawarkan harapan untuk mengurangi permintaan helium di masa depan.
Industri yang Berkembang, Pasokan yang Menyusut
Para analis memperkirakan permintaan helium global akan berlipat ganda pada tahun 2035 karena perannya dalam produksi semikonduktor dan baterai kendaraan listrik. Meskipun demikian, tidak ada metode besar-besaran yang ada untuk memproduksi helium secara artifisial. Helium dihasilkan secara alami di kerak planet kita dengan laju yang sangat lambat, dan terus-menerus menghilang dari atmosfer.
Gangguan pasokan helium sangat umum terjadi, dipicu oleh berbagai kejadian seperti pemeliharaan di pabrik pengolahan dan konflik geopolitik. Qatar, Aljazair, dan Amerika Serikat tetap menjadi pemasok utama, tetapi kecelakaan dan sanksi perdagangan dapat membahayakan pengiriman.
Upaya Mencari Sumber Baru
Pemasok gas alam besar kini berharap dapat menggali cadangan helium tambahan. Penemuan baru-baru ini di Tanzania mengenai ladang helium besar direncanakan akan mulai memproduksi pada tahun 2025, menandai pertama kalinya helium akan diekstrak dalam skala besar tanpa bergantung pada bahan bakar fosil. Qatar juga berencana untuk meluncurkan pabrik helium baru pada tahun 2027. Proyek-proyek ini bisa membantu meredakan ketidakpastian di pasar.
Akan tetapi, beberapa pakar, termasuk Christopher Ballentine dari Oxford, memperingatkan bahwa logistik dan pendanaan untuk ladang-ladang ini mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terwujud.
Menjamin Pasokan di Masa Depan
Selama bertahun-tahun, pemerintah telah berusaha mengelola helium dengan memelihara cadangan strategis. Cadangan Helium Federal AS, yang dulunya merupakan sumber terbesar di dunia, dijual pada tahun 2024 kepada perusahaan swasta. Kelompok-kelompok yang peduli, seperti Asosiasi Gas Terkompresi, memperingatkan bahwa penjualan ini mungkin membawa ketidakpastian tambahan pada pasar yang sudah tidak stabil. Memprediksi output yang stabil semakin sulit, dan harga pun melonjak sesuai dengan dinamika ini.
Perlombaan Melawan Waktu
“Ini adalah masalah serius dan kita perlu menanganinya,” kata Washton. Dia menyarankan bahwa masyarakat umum bisa terkejut jika kekurangan helium semakin meningkat. Jika kekurangan di masa depan semakin parah, segala sesuatu dari pemindaian rumah sakit rutin hingga produksi semikonduktor canggih mungkin akan terkena dampak.
Pihak-pihak yang berkepentingan tetap optimis bahwa ladang helium baru, mesin MRI yang lebih kecil, dan langkah-langkah daur ulang yang lebih baik akan mencegah kekurangan yang parah. Namun, sifat langka dari gas ini membuat penggantinya sulit ditemukan. Upaya sedang dilakukan untuk menggunakan kembali setiap tetes helium yang mungkin, bahkan jika itu memerlukan peralatan mahal dan perencanaan yang cermat.
Penelitian ini dipublikasikan dalam Physics Today.