Pada hari Sabtu, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan agar terjadi "dialog langsung" antara Ukraina dan Rusia jika terjadi gencatan senjata dalam invasi yang dilakukan Moskow selama tiga tahun, menurut laporan dari Agence France-Presse (AFP). Dalam sebuah wawancara dengan media Prancis TF1 dan LCI saat dalam perjalanan ke Kyiv untuk bertemu dengan pemimpin Eropa lainnya, Macron menyatakan bahwa jika gencatan senjata selama 30 hari, seperti yang diusulkan oleh negara-negara barat, "kami akan mencari dialog langsung antara Ukraina dan Rusia, kami siap untuk membantu."

Di sisi lain, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyatakan bahwa keterlibatan Korea Utara dalam perang Rusia-Ukraina adalah hal yang dibenarkan, yang disebutnya sebagai pelaksanaan hak kedaulatan dalam membela "bangsa saudara." Hal ini dilaporkan oleh media negara KCNA pada hari yang sama, dan disiarkan oleh Reuters. Kim juga mengatakan bahwa Pyongyang tidak akan ragu untuk memberikan otorisasi penggunaan kekuatan militer jika Amerika Serikat terus melakukan provokasi militer terhadap Rusia.

Ini adalah pertama kalinya para pemimpin empat negara Eropa (Prancis, Inggris, Jerman, dan Polandia) melakukan kunjungan bersama ke Ukraina. Dalam pernyataan bersama mereka, para pemimpin tersebut menegaskan, "Kami jelas bahwa pertumpahan darah harus diakhiri. Rusia harus menghentikan invasi ilegalnya." Mereka juga menambahkan bahwa bersama dengan Amerika Serikat, mereka meminta Rusia untuk menyetujui gencatan senjata penuh dan tanpa syarat selama 30 hari untuk menciptakan ruang bagi dialog menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Mereka memperingatkan bahwa dukungan mereka untuk Ukraina akan terus meningkat dan hingga Rusia menyetujui gencatan senjata yang bertahan lama, tekanan terhadap mesin perang Rusia akan terus dipercepat.

Selama kunjungan tersebut, para pemimpin juga dijadwalkan untuk mengadakan pertemuan virtual guna memberi pembaruan kepada pemimpin Eropa lainnya tentang langkah-langkah menciptakan kekuatan Eropa yang dapat memberikan keamanan bagi Ukraina setelah perang berakhir. Pernyataan tersebut menyebutkan bahwa kekuatan ini "akan membantu mengembangkan angkatan bersenjata Ukraina setelah kesepakatan perdamaian dan memperkuat kepercayaan pada setiap perdamaian di masa depan." Namun, Rusia menegaskan bahwa mereka tidak akan mentolerir kehadiran militer barat di Ukraina begitu pertempuran berakhir dan memperingatkan bahwa proposal tersebut dapat memicu perang antara Moskow dan NATO.

Di lain pihak, Kanselir Jerman Friedrich Merz memperingatkan bahwa Rusia akan menghadapi sanksi yang lebih keras jika menolak gencatan senjata Ukraina. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh harian Bild, Merz menyatakan bahwa jika Presiden Vladimir Putin tidak setuju dengan gencatan senjata tersebut, "akan ada penguatan sanksi yang masif dan bantuan besar-besaran kepada Ukraina akan terus berlanjut – secara politik, tentu saja, tetapi juga secara finansial dan militer."

Dalam komentar lain, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyatakan bahwa Rusia akan meminta penghentian aliran persenjataan dari AS dan Eropa kepada Ukraina selama gencatan senjata. Ia beralasan, "Jika tidak, itu akan menjadi keuntungan bagi Ukraina. Ukraina akan terus melakukan mobilisasi total, membawa pasukan baru ke garis depan." Sementara itu, Donald Trump, presiden AS sebelumnya, mendorong Rusia dan Ukraina untuk "menyelesaikan perang bodoh ini," saat ia mendukung gencatan senjata selama 30 hari yang dikatakan oleh Ukraina bersedia untuk disetujui.

Analisis terbaru menunjukkan bahwa dunia kini semakin mendekati kemungkinan terjadinya perang dunia ketiga. Beberapa analisis menggarisbawahi bahwa implosi Pax Americana dan saling keterhubungan konflik, serta kecenderungan baru untuk resort terhadap kekerasan negara yang tidak terkontrol, semakin tampak nyata. Dari Kashmir hingga Khan Younis, suara ledakan yang keras menjadi satu-satunya yang terdengar, mengisyaratkan bahwa aturan lama tidak lagi berlaku. Hal ini memaksa negara-negara untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka.

Di sisi lain, Perdana Menteri Slovakia Robert Fico menyatakan bahwa negaranya ingin mengembangkan hubungan dengan Rusia, menyanggah kritik dari Uni Eropa yang menciptakan hambatan bagi kehadirannya di peringatan perang dunia kedua di Moskow. Fico sebelumnya telah melakukan kunjungan ke Moskow dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin setelah parade di Lapangan Merah. Ia mengungkapkan bahwa sebagai kepala pemerintahan, ia ingin memastikan bahwa ada hubungan pragmatis dengan Federasi Rusia. Fico dan Putin berjanji untuk tidak lagi menciptakan "tirai besi" baru, dan menolak rencana Uni Eropa untuk mengurangi pembelian energi Rusia sebagai "bunuh diri ekonomi."