Seorang Polisi Tewas di Libya di Tengah Kerusuhan yang Kembali Memuncak Pasca Pembunuhan Pemimpin Milisi

Seorang petugas kepolisian di Libya telah terbunuh dalam sebuah insiden yang terjadi di ibu kota, Tripoli, di mana protes meluas sedang berlangsung. Ini merupakan bagian dari reaksi masyarakat yang marah setelah terbunuhnya seorang pemimpin milisi terkenal, Abdelghani al-Kikli, yang lebih dikenal dengan nama Gheniwa. Kerusuhan yang terjadi menunjukkan ketegangan yang terus memuncak di negara yang dilanda konflik ini.
Dalam sebuah pernyataan resmi yang dikeluarkan pada hari Jumat malam, pemerintah mengonfirmasi bahwa petugas tersebut tewas dalam sebuah "serangan yang coba dilakukan" di kantor Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Menurut laporan, ia ditembak oleh penyerang yang tidak dikenal dan mengalami cedera fatal. Dalam insiden tersebut, sekelompok orang yang mencampur dengan para pengunjuk rasa berusaha membakar kantor dengan menggunakan bom molotov, menambah situasi yang sudah tegang.
Menanggapi situasi ini, tiga menteri dalam pemerintahan yang diakui secara internasional di Libya, yaitu Menteri Ekonomi dan Perdagangan Mohamed al-Hawij, Menteri Pemerintahan Lokal Badr Eddin al-Tumi, dan Menteri Perumahan Abu Bakr al-Ghawi, mengumumkan pengunduran diri mereka. Mereka mendukung para pengunjuk rasa yang menyerukan agar Perdana Menteri Dbeibah mundur dari jabatannya. Pengunduran diri tersebut diungkapkan melalui video yang dirilis oleh dua menteri tersebut dan dilaporkan oleh media lokal. Sebelumnya, pemerintah sempat membantah kabar mengenai pengunduran diri menteri-menteri tersebut.
Sementara itu, di kota Misrata, sejumlah pengunjuk rasa berkumpul untuk menunjukkan dukungan terhadap Dbeibah dan pemerintahannya, menunjukkan adanya perpecahan dalam opini publik mengenai situasi politik saat ini.
Protes ini muncul setelah gelombang kekerasan yang melanda Tripoli selama seminggu terakhir, yang mengakibatkan setidaknya delapan warga sipil tewas. Kekacauan ini dipicu oleh pembunuhan Abdelghani al-Kikli, yang terjadi di sebuah ambush di basis militer, yang memicu reaksi keras di kalangan pendukung dan musuh politiknya.
Dbeibah berusaha memperkuat kekuasaan dan mengendalikan situasi setelah pembunuhan tersebut, namun beberapa bentrokan kembali terjadi di akhir pekan. Sebelum demonstrasi ini, Misi Dukungan PBB di Libya (UNSMIL) menekankan pentingnya "hak warga untuk berdemonstrasi secara damai" dan memperingatkan terhadap "eskalasi kekerasan" lebih lanjut.
Jurnalis Al Jazeera, Malik Traina, melaporkan dari Tripoli bahwa rakyat Libya mendesak perubahan besar, mengingat mereka "sangat frustrasi" dengan situasi keamanan saat ini. "Warga Libya menuntut diadakannya pemilihan umum dan ingin bisa menyuarakan pendapat mereka serta menempatkan orang-orang yang mereka percayai di posisi kekuasaan," tambahnya.
Pemerintah Mesir juga memberikan pernyataan pada hari Sabtu, menyatakan bahwa mereka memantau perkembangan situasi di Libya dengan seksama. Mereka menyerukan semua pihak untuk menunjukkan "pengekangan maksimum" dan memperingatkan warganya yang berada di Libya untuk tetap waspada serta tetap di rumah hingga situasi menjadi jelas.
Libya telah berada dalam keadaan kekacauan sejak terjadinya pemberontakan yang didukung NATO pada tahun 2011, yang mengakibatkan perpecahan negara antara dua pemerintahan yang bersaing. Pemerintahan Dbeibah, yang dikenal sebagai Pemerintah Persatuan Nasional (GNU), telah mengendalikan wilayah barat Libya sejak tahun 2021, sementara pemerintahan yang didukung oleh komandan militer pembangkang Khalifa Haftar menguasai wilayah timur.
Pemilihan umum nasional di Libya sebenarnya telah dijadwalkan berlangsung pada akhir tahun 2021, tetapi ditunda tanpa batas waktu akibat sengketa mengenai kelayakan calon, aturan konstitusi, dan kekhawatiran terhadap keamanan, mengingat kedua pemerintahan yang bersaing gagal mencapai kesepakatan tentang kerangka kerja yang diperlukan.