MANILA, Filipina — Anggota DPR dari partai ML yang baru terpilih, Leila de Lima, pada hari Rabu menegaskan komitmennya untuk memperkenalkan undang-undang yang akan mengkriminalisasi praktik Red-tagging dalam masa jabatannya di Kongres ke-20. Pernyataan ini muncul setelah laporan dari Reporters Without Borders (RSF) yang menyerukan kepada para pembuat undang-undang Filipina yang baru terpilih untuk mengambil tindakan serius terhadap masalah ini.

Dalam wawancara, De Lima menekankan bahwa Red-tagging “merupakan ancaman terhadap kebenaran.” Ia melanjutkan, “Di Kongres, saya akan berjuang untuk mengkriminalisasi praktik ini. Kebebasan pers adalah hal yang tidak bisa dinegosiasikan.”

Undang-undang yang diusulkan oleh De Lima bukanlah hal baru; sebelumnya, saat menjabat sebagai senator di Kongres ke-18, ia telah menjadi salah satu penulis undang-undang yang berusaha untuk mendefinisikan dan mengkriminalisasi Red-tagging. Rancangan tersebut mencakup hukuman penjara selama 10 tahun dan larangan seumur hidup dari pelayanan publik bagi para pelanggar. Sayangnya, upaya tersebut terhambat dan tidak mendapatkan kemajuan di Senat.

Menurut laporan RSF mengenai kebebasan pers di Filipina tahun 2025, situasi kebebasan pers di negara tersebut menunjukkan sedikit peningkatan. Namun, kondisi tersebut tetap dikategorikan sebagai “sulit.” Dalam laporan tersebut, RSF secara spesifik menyoroti praktik Red-tagging – di mana kritikus, aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia dilabeli sebagai komunis – sebagai ancaman serius di bawah pemerintahan Marcos.

Dengan komitmennya yang kuat, De Lima berharap dapat memimpin langkah-langkah untuk melindungi kebebasan berpendapat dan memastikan bahwa suara-suara kritis tidak dibungkam oleh stigma berbahaya ini. Pengamat politik dan aktivis mendukung langkah ini sebagai langkah penting untuk memperbaiki iklim kebebasan pers di Filipina.